Bogor – Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan, Perpres ini bertujuan melakukan percepatan penyelesaian permasalahan tata kelola lahan dan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan salah satunya Perkebunan sawit.
Sabarudin Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan kalau kebijakan ini dilakukan dengan baik melibatkan semua stakeholders di Perkebunan sawit petani sawit tentu akan mendukung.
“Dari dulu petani mengharapkan pemerintah mampu memfasilitasi penyelesaian perkebunan sawit termasuk milik petani yang teridentifikasi berada dalam kawasan hutan.” ujarnya.
Saat ini pemerintah mengklaim Perkebunan sawit dalam Kawasan hutan ada sekitar 3,5 juta hektar, data ini sudah pasti belum berdasarkan fakta di lapangan sehingga kami mendorong diperlukan pemetaan lahan sawit yang berada dalam Kawasan hutan tersebut. Terutama pemetaan dilakukan pada lahan-lahan petani yang berada dalam Kawasan hutan, supaya kejelasan berapa petani dalam Kawasan hutan itu diketahui dengan pasti.
“Jangan sampai selama ini mengaku petani tetapi itu sudah tidak masuk kategori petani di bawah 25 hektar sesuai dengan peraturan kita.” ungkap dia.
Sabarudin mendorong Perpres ini khusus untuk petani petani sawit harus mengacu pada luasan 25 hektar ke bawah dan juga penerapan perpres ini jangan sampai merugikan petani sawit. Penerapan perpres ini harus dimulai dengan memfasilitasi pemetaan lahan-lahan petani oleh pemerintah daerah secara partisipatif melibatkan petani, masyarakat lokal, pemerintah desa.
“Dengan begini akan ketahuan berapa petani yang masuk dalam kawasan hutan pemiliknya siapa saja. Setelah data peta penggusuran petani ketahuan maka perlunya dilakukan pengecekan apakah petani tersebut menguasai lahan tersebut sebelum penetapan Kawasan hutan atau sesudah penetapan Kawasan hutan.” bebernya.
Saat ini banyak petani sawit dengan luasan 5 hektar ke bawah dimiliki oleh masyarakat desa atau local dengan pengusaha 30 tahun keatas tapi masih dalam Kawasan hutan.
Ia menegaskan penyelesaian kebun sawit yang dikelola oleh masyarakat dibutuhkan agar ada kejelasan dan kekuatan legalitas bagi petani, kalau petani bisa keluar dalam Kawasan hutan maka bisa mendapatkan sertifikat Tanah Hak Milik (SHM) ini sangat kuat bagi jaminan usaha kebun petani dan juga bisa mempermudah akses keuangan bagi petani, akses Peremajan sawit Rakyat (PSR) dan juga bisa mempercepat sertifikasi ISPO.
Selain itu SPKS juga mendorong penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan perlu sesuai dengan tipologi petani misalnya petani bertempat tinggal di desa atau masyarakat local disitu, lama penguasaan lahan, luasan kebun yang dimiliki.
“Kami juga mendorong untuk penyelesaian petani dalam Kawasan hutan di permudah dan dijalankan oleh pemerintah.” pungkasnya.