Berita  

Ada yang Tanya, Memang ada Dokter Teroris ?? Banyak ….

DOKTER SUNARDI DITEMBAK DENSUS 88
Oleh: Makmun Rasyid

Ketangkasan Densus 88 dalam menyingkap tabir teroris. UU Terorisme No 5 Tahun 2018 mengamanahkan kepada pihak keamanan—Detasemen Khusus 88 Anti Teror—untuk menindak siapa pun, meski belum melakukan aksi teror atau meledakkan bom. Undang-undang tersebut membuat sistem operasi di lapangan semakin luas dan pencegahan terorisme semakin baik.

Satu persatu diurai dan “dijegal” langkahnya agar tidak memproduksi dan memperbanyak kaderisasi. Mereka ditangkap bukan untuk dimatikan tetapi untuk disadarkan, agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dan mereka—para ideolog dan umumnya kaum teroris—semakin hari semakin ciamik dalam mengambil peran. Mereka pun kerap mengelabui lapisan masyarakat di pedesaan hingga membius para politisi yang sibuk mencari kepentingan elektoral. Utamanya mereka yang sering menyebut pihak keamanan sebagai “Islamophobia”.

Lalu bagaimana dengan “Dokter Sunardi” yang ditembak Densus 88? Sunardi melakukan perlawanan dengan menabrakkan mobilnya ke mobil polisi. Ketika diminta berhenti, dia malah mengendarai mobilnya secara zigzag hingga mengenai kendaraan yang melintas di jalan raya Bekonang-Sukoharjo. Mobil baru berhenti setelah menabrak rumah warga.

“Situasi yang dapat membahayakan jiwa petugas dan masyarakat sehingga petugas melakukan upaya paksa dengan melakukan tindakan tegas terukur dengan melumpuhkan tersangka dan mengenai di daerah punggung atas dan bagian pinggul kanan bawah,” ungkap pihak kepolisian.

Kenapa dia berusaha menghindari pihak polisi? secara naluriah, seseorang jika merasa bersalah dia akan mencari segala macam cara agar terlepas dari jeratan. Tak terkecuali Sunardi. Kepolisian tidak mungkin menjadikannya sebagai target manakala dia tidak terlibat dalam jaringan terorisme.

Dan faktanya, Sunardi merupakan seorang penasihat Amir Jamaah Islamiyah (JI) dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). HASI merupakan organisasi sayap Jamaah Islamiyah yang beroperasi besar di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Makassar.

Netizen bertanya, dia kan belum melakukan tindakan teror? Ya, dia tidak mengangkat senjata dan melakukan aksi pengeboman. Mengapa? karena saat ini Jamaah Islamiyah sudah mengubah strategi. Jika menggunakan kekerasan akan sangat merugikan kelompoknya dan banyak penangkapan, sehingga mereka memilih konsolidasi dan menunggu momentum yang tepat.

Makanya kalau jalan-jalan ke rumah Sunardi, tempat dia membuka praktik, ada papan nama namun pasiennya yang datang ke rumah dokter Sunardi sedikit. Mengapa? Sunardi sudah mengerti peraturan organisasinya untuk berhati-hati saat membuka praktik. Tidak semua pasien bisa diterimanya. Apalagi saat ini, kecanggihan teknologi membuat seorang pasien untuk terlebih dahulu menghubungi sang dokter. Dengan begitu, Sunardi bisa berhati-hati dalam menerima pasien yang akan diobatinya. Dan uang yang didapatkan, sebagian akan disumbangkan ke yayasan organisasinya.

Jamaah Islamiyah memang memiliki kecenderung membuat lembaga-lembaga humanitarian seperti BM-ABA, Syam Organizer, dan Hilal Ahmar Society Indonesia. Uang itu digunakan untuk mengirimkan bantuan kepada negara konflik. Dan beberapa yayasan filantropi di Indonesia juga, bukan sayap Jamaah Islamiyah atau JAD-JAT tapi di negara-negara konflik mereka bertemu dalam membantu kelompok teroris. Disini memang kelemahan regulasi yang berkaitan dengan yayasan filantropi. Khususnya UU No 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang.

Terkait regulasi tersebut, pemerintah harus membuat peraturan daerah sebagai turunan dari perundang-undangan pengumpulan dana; Intensitas sosialisasi dan monitoring terhadap produk hukum berkenaan dengan filantropi; dan kewaspadaan dan pembinaan terhadap tata kelola dan jaringan yayasan-yayasan sosial.

Dengan berbagai kelemahan yang masih ada, kelompok teroris pun menjadikannya sebagai keuntungan. Dari sisi profesi pun mereka saat ini masuk ke semua lini, jika kemarin seperti Ahmad Zain An-Najah berada dalam organisasi MUI, kini profesi dokter pun dinodai oleh oknum-oknum. Mereka akan terus melebur ke tengah elemen publik sembari bersenandung dengan segala jubah kesalihan dan tampilan fisik yang membuai orang-orang pintar di sekelilingnya.

Pertanyaan terakhir, apakah baru kali ini seorang teroris berprofesi dokter? tidak. Sebelumnya juga yang berprofesi dokter ditangkap adalah AG (tahun 2021). Dia dokter di daerah brondong, Lamongan. Saat itu berbarengan dengan DA yang ditangkap di Kabupaten Tuban. Begitu pula dengan AR (tahun 2020) yang ditangkap di Bekasi. Dimana AR selain seorang dokter, dia juga sebagai fasilitator ke Suriah yang terafiliasi jaringan kelompok teroris Koswara.

Masih ada lagi? ada. Teroris berinisial NH (2018). Ia seorang dokter umum yang juga membuka praktik pengobatan bekam. Saat itu digrebek bersama SZ dan An di Bajang Blitar.

Hikmahnya, kita terus menomorsatukan kewaspadaan. Kamuflase yang dilakukan kelompok teroris selalu di luar nalar orang sekitarnya. Maka sering kali tetangganya ketika dimintai keterangan selalu normatif karena itulah kehebatan membungkus seorang teroris.
———————————————————
Ustadz Muhammad Makmun Rasyid, lahir di Medan, Sumatera Utara, 24 Oktober 1992. Pada umur 9 tahun ia menghafal Al-Qur’an sampai selesai 30 Juz. Ia menempuh studi Strata Satu (S1) di Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur`an (STKQ) Al-Hikam Depok, Jawa Barat, Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir dan strata dua-nya di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir.

Saat ini beliau aktif sebagai anggota Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI

Facebook Comments Box
Exit mobile version