Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban pengemudi ojek online (ojol) yang meninggal dunia akibat dilindas aparat kepolisian. Insiden tersebut terekam dalam kamera pengawas (CCTV) dan menimbulkan dugaan kuat adanya unsur kesengajaan. Fakta ini menjadikan peristiwa tersebut tidak wajar serta menyalahi prinsip kemanusiaan dan hukum.
Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani, menegaskan bahwa setiap dugaan pelanggaran hak asasi manusia harus diproses secara transparan, akuntabel, dan tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban hukum.
“Peristiwa ini bukan insiden biasa, melainkan tragedi yang harus diusut secara serius karena menyangkut keselamatan warga negara dan kredibilitas institusi kepolisian,” tegas Julius.
PBHI menekankan pentingnya langkah-langkah berikut:
1. Penyelidikan terbuka dan akuntabel — Proses hukum harus dilakukan secara profesional, transparan, dan tanpa intervensi, dengan membuka akses informasi kepada publik.
2. Penegakan hukum yang adil — Aparat yang terbukti bersalah wajib diproses secara hukum pidana dan etik tanpa adanya impunitas.
3. Pendekatan humanis Polri — PBHI mendesak agar Polri mengedepankan pendekatan humanis dalam melaksanakan tugas, sehingga tindakan represif tidak lagi terjadi dan Polri tetap dipercaya sebagai pelindung masyarakat.
4. Evaluasi kelembagaan — Insiden ini harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola kepolisian, termasuk mekanisme pengawasan internal dan eksternal.
5. Mencegah provokasi — PBHI mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi oleh narasi yang memperkeruh suasana. Momentum September Hitam harus dijadikan refleksi, bukan alat provokasi politik.
6. Peran cooling system — PBHI siap berperan menyejukkan dengan menyampaikan narasi yang rasional, edukatif, dan konstruktif, guna meredam potensi eskalasi massa serta menjaga stabilitas sosial dan politik nasional.
“Negara harus hadir dengan langkah tegas sekaligus humanis. Jangan sampai tragedi ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Justru sebaliknya, kasus ini harus menjadi momentum pembenahan institusi Polri agar lebih transparan, humanis, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia,” pungkasnya.
